Pages

Minggu, 03 Februari 2013

Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan



Sayang seribu sayang, di saat-saat sang ibu menghadapi ketuaannya, di saat-saat orang tua sangat membutuhkan pertolongan dan perawatannya, bawel dan cerewetnya, sikapnya yang kembali seperti anak kecil atau sakit yang di deritanya membuat bosan sang anak yang merawat.

Ketika sang ibu minta dipangku pindah tempat, si anak kadang merasa jengkel, kesal dan bosan. Padahal waspadalah, kalau saja si anak karena kejengkelannya sampai mengeluarkan kata-kata “akh”, “khusy” atau kata-kata lainnya maupun dengan sikap dan perbuatan akibat jengkelnya kepada orang tua itu, maka berarti si anak telah berbuat durhaka kepada orang tuanya. Allah swt telah melarangnya yang tercantum di dalam Al Qur’an mengenai larangan berkata “uff” (artinya perkataan-perkataan yang membuat sakit hati sang orang tua):

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan mengatakan kepada keduanya perkataan “uffin” (khusy, hah dan lain sebagainya berupa perkataan atau perbuatan yang menyakitkan orang tua), dan janganlah kamu membentak kepada mereka dan ucapkan pada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih kesayangan, dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik dan menyayangi aku di wakti kecil” QS. Al Isra : 23-24

Makna “uffin” di dalam bahasa Indonesia diartikan dengan khusy, akh atau hah, maksudnya agar melahirkan kejengkelan. Jadi yang dikategorikan uffin di sini bukan hanya itu cemberut muka, mencibirkan bibir dan mengkerutkan muka dan ditunjukkan kepada orangtuanya, itu juga termasuk uffin, yang semuanya itu haruslah dihindari.

Memperhatikan keadaan-keadaan di atas yang terkadang banyak juga terjadi, nyatalah bahwa kasih anak terhadap orangtuanya hanya sepanjang galah saja, sedangkan kalau di banding dengan pengurusan sang ibu dan pemeliharaan sang ayah di waktu masih kecil, sangat jauh bagaikan jauhnya langit ke bumi, tak mungkin dapat membalas setimpal dengan perawatan orangtua dan kasih sayangnya.

Demikian juga jika jasa sang ibu diukur dengan ukuran materi, tentulah amat sulit, hutang emas dapat dibayar dengan emas, tapi hutang budi tetap abadi dibawa mati, dan budi orang tua tak dapat diukur dengan harta sebanyak apapun, nilai budi dan jasa lebih mulia dan luhur disbanding dengan nilai materi.

Bila suatu hari di zaman Rasulullah saw datanglah seorang laki-laki kepada beliau yang bercerita membanggakan dirinya karena sudah dapat meladeni ibunya, perasaan dirinya sudah puas karena dapat membalas budi pada ibunya.

Hadits tersebut berbunyi:

pada suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah saw, lalu bertanya: “Yaa Rasulullah, saya mempunyai seorang ibu, yang saya gendong di punggung saya. Saya tidak pernah bermuka masam dan kecut kepadanya. Saya serahkan hasil mata pencaharian saya kepadanya. Sudahkah saya disebut sebagai yang membalas budi? Jawab Rasulullah saw. Tidak, walaupun satu tarikan nafas panjangnya.” Orang itu pun bertanya lagi: mengapa demikian wahai Rasulullah? Maka jawab Rasulullah saw: “Karena (dahulu) ibumu memeliharamu dengan harapan engkau panjang umur, dan ketika engkau memelihara ibumu padahal engkau ingin ia segera mati.” (HR. Abul Hasan Al Mawardi)

Kandungan hadits di atas, bahwa balas budi pada orang tua itu tak dapat di ukur dengan harta benda dan meladeni saja, bandingannya tetap masih jauh. Ibu yang tulus ikhlas mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkan selalu diiringinya dengan doa agar cepat besar dan panjang umurnya. Tapi si anak bila mendapatkan ibunya sakit yang memerlukan perawatan yang lama atau terpaksa sampai harus menggendongnya, memandikan, mencucikan pakaiannya, menyuapi nasi ke mulutnya, maka dalam hati kecil si anak terlintas pikiran, kiranya lebih baik kalau ibu saya ini segera meninggal saja daripada merepotkan keluarga yang memeliharanya atau ibu sendiri menanggung derita batin. Dan seakan-akan si anak telah rela bila orangtuanya meninggal dunia karena semua keluarga telah cukup merawatnya, bahkan anak cucupun merasa bosan turut meladeni orang tua itu.

Dengan lintasan hari yang demikian, jelaslah terdapat perbedaan yang nyata antara batin sang ibu dan sang anak.

Kasih ibu yang tiada putus, abadi sepanjang masa, tapi kasih anak pada orang tua sepanjang batas-batas tertentu saja.

Sumber : Meniti Jalan ke Surga (hal. 24-29), Drs. H. Dudung Abdullah, SH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar