Sayang seribu sayang, di saat-saat sang ibu menghadapi ketuaannya, di saat-saat orang tua sangat membutuhkan pertolongan dan perawatannya, bawel dan cerewetnya, sikapnya yang kembali seperti anak kecil atau sakit yang di deritanya membuat bosan sang anak yang merawat.
Ketika
sang ibu minta dipangku pindah tempat, si anak kadang merasa jengkel, kesal dan
bosan. Padahal waspadalah, kalau saja si anak karena kejengkelannya sampai
mengeluarkan kata-kata “akh”, “khusy” atau kata-kata lainnya maupun dengan
sikap dan perbuatan akibat jengkelnya kepada orang tua itu, maka berarti si
anak telah berbuat durhaka kepada orang tuanya. Allah swt telah melarangnya yang
tercantum di dalam Al Qur’an mengenai larangan berkata “uff” (artinya
perkataan-perkataan yang membuat sakit hati sang orang tua):
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat
baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan
mengatakan kepada keduanya perkataan “uffin” (khusy, hah dan lain sebagainya
berupa perkataan atau perbuatan yang menyakitkan orang tua), dan janganlah kamu
membentak kepada mereka dan ucapkan pada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah
dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih kesayangan, dan ucapkanlah “Wahai
Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
dan menyayangi aku di wakti kecil” QS.
Al Isra : 23-24
Makna
“uffin” di dalam bahasa Indonesia diartikan dengan khusy, akh atau hah, maksudnya
agar melahirkan kejengkelan. Jadi yang dikategorikan uffin di sini bukan hanya
itu cemberut muka, mencibirkan bibir dan mengkerutkan muka dan ditunjukkan
kepada orangtuanya, itu juga termasuk uffin, yang semuanya itu haruslah
dihindari.
Memperhatikan
keadaan-keadaan di atas yang terkadang banyak juga terjadi, nyatalah bahwa
kasih anak terhadap orangtuanya hanya sepanjang galah saja, sedangkan kalau di
banding dengan pengurusan sang ibu dan pemeliharaan sang ayah di waktu masih
kecil, sangat jauh bagaikan jauhnya langit ke bumi, tak mungkin dapat membalas
setimpal dengan perawatan orangtua dan kasih sayangnya.
Demikian
juga jika jasa sang ibu diukur dengan ukuran materi, tentulah amat sulit,
hutang emas dapat dibayar dengan emas, tapi hutang budi tetap abadi dibawa
mati, dan budi orang tua tak dapat diukur dengan harta sebanyak apapun, nilai
budi dan jasa lebih mulia dan luhur disbanding dengan nilai materi.
Bila
suatu hari di zaman Rasulullah saw datanglah seorang laki-laki kepada beliau
yang bercerita membanggakan dirinya karena sudah dapat meladeni ibunya,
perasaan dirinya sudah puas karena dapat membalas budi pada ibunya.
Hadits
tersebut berbunyi:
“pada suatu hari datanglah seorang laki-laki
kepada Rasulullah saw, lalu bertanya: “Yaa Rasulullah, saya mempunyai seorang
ibu, yang saya gendong di punggung saya. Saya tidak pernah bermuka masam dan
kecut kepadanya. Saya serahkan hasil mata pencaharian saya kepadanya. Sudahkah saya
disebut sebagai yang membalas budi? Jawab Rasulullah saw. Tidak, walaupun satu
tarikan nafas panjangnya.” Orang itu pun bertanya lagi: mengapa demikian wahai
Rasulullah? Maka jawab Rasulullah saw: “Karena (dahulu) ibumu memeliharamu
dengan harapan engkau panjang umur, dan ketika engkau memelihara ibumu padahal
engkau ingin ia segera mati.” (HR.
Abul Hasan Al Mawardi)
Kandungan
hadits di atas, bahwa balas budi pada orang tua itu tak dapat di ukur dengan
harta benda dan meladeni saja, bandingannya tetap masih jauh. Ibu yang tulus
ikhlas mengandung, melahirkan, merawat dan membesarkan selalu diiringinya
dengan doa agar cepat besar dan panjang umurnya. Tapi si anak bila mendapatkan ibunya
sakit yang memerlukan perawatan yang lama atau terpaksa sampai harus
menggendongnya, memandikan, mencucikan pakaiannya, menyuapi nasi ke mulutnya,
maka dalam hati kecil si anak terlintas pikiran, kiranya lebih baik kalau ibu
saya ini segera meninggal saja daripada merepotkan keluarga yang memeliharanya atau
ibu sendiri menanggung derita batin. Dan seakan-akan si anak telah rela bila
orangtuanya meninggal dunia karena semua keluarga telah cukup merawatnya,
bahkan anak cucupun merasa bosan turut meladeni orang tua itu.
Dengan
lintasan hari yang demikian, jelaslah terdapat perbedaan yang nyata antara
batin sang ibu dan sang anak.
Kasih
ibu yang tiada putus, abadi sepanjang masa, tapi kasih anak pada orang tua
sepanjang batas-batas tertentu saja.
Sumber
: Meniti Jalan ke Surga (hal. 24-29), Drs.
H. Dudung Abdullah, SH.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar